Open Bidding PDAM Tirtawening: Transparansi dan Akuntabilitas sebagai Keniscayaan Tata Kelola BUMD
Oleh : R. Wempy Syamkarya, S.H., M.M. Pengamat Kebijakan Publik dan Politik
| Pengamat Kebijakan Publik sedang diwawancarai wartawan mata30news |
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) merupakan salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang memiliki posisi strategis dalam penyediaan layanan publik sekaligus berpotensi menjadi sumber pendapatan daerah. Di Kota Bandung, Perumda PDAM Tirtawening hingga kini masih tercatat sebagai BUMD yang relatif sehat. Namun, pengalaman historis menunjukkan bahwa ketahanan institusi ini kerap terancam oleh praktik penempatan pimpinan yang tidak berbasis kompetensi, melainkan didorong oleh pertimbangan politik dan relasi kekuasaan.
Praktik tersebut berisiko mengulang kesalahan tata kelola di masa lalu. Ketika profesionalisme dikalahkan oleh kepentingan politik, PDAM berjalan layaknya “autopilot”: memiliki pemimpin secara formal, namun kehilangan arah strategis dan pembenahan fundamental. Dampaknya dapat dilihat dari kinerja lima tahun terakhir yang dinilai tidak optimal, ditandai dengan membengkaknya biaya operasional, tingkat efisiensi yang rendah, serta target pelayanan yang tidak tercapai secara maksimal.
Lebih memprihatinkan lagi, tingginya tingkat kebocoran—baik teknis maupun administratif—menjadi indikator lemahnya pengendalian internal. Kondisi ini memunculkan kecurigaan publik terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang disebut-sebut telah mengakar, termasuk dugaan keterlibatan relasi keluarga dalam proyek-proyek strategis PDAM. Apabila situasi ini dibiarkan, maka bukan hanya kinerja perusahaan yang tergerus, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah sebagai pemilik modal utama.
Dalam konteks tersebut, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, perlu menjadikan proses pemilihan Direksi PDAM sebagai catatan penting dan momentum koreksi. Kesalahan dalam menentukan pimpinan tidak boleh kembali terulang. Proses seleksi harus dilakukan secara profesional, berbasis kompetensi, dan berorientasi pada daya saing PDAM sebagai entitas bisnis sekaligus penyedia layanan publik.
Pertanyaan mendasar yang patut diajukan adalah: mengapa Perumda PDAM Tirtawening belum mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)? Kejanggalan ini seharusnya mendorong Pemerintah Daerah dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Sikap diam atau pembiaran justru memperkuat persepsi publik adanya masalah serius dalam tata kelola perusahaan.
Secara normatif, proses open bidding Direksi PDAM wajib dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Hal ini sejalan dengan berbagai regulasi, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2018. Regulasi tersebut menegaskan bahwa seleksi pejabat publik harus terbuka, dapat diakses, dan dipublikasikan kepada masyarakat.
Publikasi proses open bidding dapat dilakukan melalui media massa, situs resmi PDAM, media sosial, maupun pengumuman terbuka di lingkungan PDAM. Dengan mekanisme tersebut, masyarakat memiliki ruang untuk memantau, memberi masukan, dan menyampaikan keberatan apabila ditemukan indikasi penyimpangan.
Panitia Seleksi (Pansel) dalam open bidding PDAM idealnya dibentuk oleh Wali Kota Bandung dan melibatkan unsur pemerintah, akademisi, profesional, serta perwakilan masyarakat. Komposisi ini penting untuk menjamin independensi dan objektivitas penilaian. Kehadiran akademisi dan profesional berfungsi sebagai penyeimbang terhadap potensi dominasi kepentingan politik, sementara unsur masyarakat memperkuat legitimasi publik.
Kriteria seleksi Direksi PDAM harus mencakup aspek objektif dan subjektif. Aspek objektif meliputi kualifikasi pendidikan, pengalaman kerja, kemampuan manajerial, serta pemahaman terhadap industri air minum. Sementara aspek subjektif mencakup visi-misi, integritas, etika kerja, kemampuan beradaptasi, dan strategi pengembangan perusahaan. Penilaian kedua aspek ini harus dilakukan secara terukur, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pada akhirnya, open bidding bukan sekadar prosedur administratif, melainkan instrumen penting dalam membangun tata kelola BUMD yang sehat. Transparansi dan akuntabilitas adalah prasyarat mutlak untuk melahirkan Direksi PDAM yang kompeten, berintegritas, dan mampu membawa PDAM Tirtawening menjadi perusahaan yang profesional, berdaya saing, serta memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Kota Bandung.
Jika proses ini dijalankan dengan benar, kepercayaan publik dapat dipulihkan. Namun, jika kembali dicederai oleh praktik jual beli jabatan, maka intervensi APH menjadi keniscayaan. Pemerintah daerah tidak boleh menunggu tekanan publik turun ke jalan untuk menegakkan keadilan dan transparansi. Sejarah telah cukup memberi pelajaran—dan kali ini, publik menuntut perubahan nyata.***
Editor : Kang Moel jpj
0 Komentar