Opini Pagi :
TIM TOP WALIKOTA BANDUNG: KEKUASAAN DI LUAR SISTEM DAN ANCAMAN BAGI DEMOKRASI LOKAL
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik
Di tengah tuntutan reformasi birokrasi dan transparansi pemerintahan, keberadaan Tim Top Walikota Bandung justru menimbulkan tanda tanya besar. Tim yang seharusnya menjadi instrumen penguatan kepemimpinan, kini dipersepsikan publik sebagai pusat kekuasaan informal yang bekerja di luar sistem pemerintahan resmi.
Pertanyaannya sederhana namun politis: siapa sebenarnya yang mengendalikan roda pemerintahan Kota Bandung—struktur resmi atau lingkar kekuasaan di balik meja?
Sejumlah keluhan yang berkembang di internal Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menunjukkan adanya kegamangan birokrasi. Tim Top dinilai kerap hadir bukan sebagai pendukung kebijakan, melainkan sebagai aktor bayangan yang ikut menentukan arah proyek, mutasi, hingga kebijakan strategis. Kondisi ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan ancaman serius terhadap prinsip meritokrasi dan netralitas birokrasi.
Lebih jauh, publik sulit menutup mata terhadap fakta politik dan hukum yang tengah terjadi di Kota Bandung. Ketika pejabat penting dan elite partai yang berada dalam lingkar kekuasaan terseret persoalan hukum, maka wajar jika publik bertanya:
apakah ini kebetulan, atau gejala dari tata kelola kekuasaan yang bermasalah sejak hulu?
Dalam konteks ini, Walikota Bandung Farhan berada di persimpangan sejarah. Mempertahankan Tim Top tanpa evaluasi berarti membiarkan kekuasaan informal tumbuh subur dan menggerogoti legitimasi kepemimpinan. Sebaliknya, melakukan koreksi tegas akan menjadi sinyal kuat bahwa kepemimpinan tidak tunduk pada kepentingan kelompok.
Kekuasaan Informal dan Bahaya Politiknya
Kekuasaan yang tidak memiliki mandat elektoral, tidak diawasi DPRD, dan tidak tunduk pada mekanisme akuntabilitas publik, adalah bom waktu bagi demokrasi lokal. Jika dibiarkan, maka:
Birokrasi akan bekerja dalam ketakutan, bukan profesionalisme.
Kebijakan publik akan rentan disandera kepentingan politik dan ekonomi.
Kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah akan terus terkikis.
Tuntutan Politik dan Etika Publik
Sudah saatnya Walikota Bandung menjawab kegelisahan publik dengan tindakan nyata, bukan sekadar pernyataan normatif.
1. Membubarkan atau merombak total Tim Top, serta membuka secara terang fungsi dan kewenangannya.
2. Menegaskan kembali supremasi OPD sebagai pelaksana kebijakan yang sah dan bertanggung jawab secara hukum.
3. Mendorong audit dan evaluasi independen terhadap seluruh kebijakan strategis yang selama ini bersentuhan dengan Tim Top.
4. Membuka ruang kontrol DPRD dan masyarakat sipil, agar kekuasaan tidak terkonsentrasi di lingkar sempit.
Pertaruhan Kepemimpinan
Isu Tim Top bukan sekadar soal tim pendukung, melainkan pertaruhan arah demokrasi dan masa depan pemerintahan Kota Bandung. Kepemimpinan yang kuat tidak diukur dari seberapa besar lingkar kekuasaan yang dilindungi, melainkan dari keberanian untuk mengoreksi diri.
Jika Walikota memilih diam, publik berhak menilai bahwa pembiaran adalah bentuk persetujuan. Namun jika Walikota berani bertindak, maka langkah tersebut akan tercatat sebagai upaya menyelamatkan pemerintahan dari krisis legitimasi.
Penutup
Tulisan ini merupakan sikap politik warga negara yang menginginkan pemerintahan bersih, demokratis, dan berpihak pada kepentingan publik. Dalam negara hukum, kebenaran tidak boleh ditentukan oleh kekuasaan informal, melainkan oleh sistem, aturan, dan keberanian moral pemimpin.
Kini pertanyaannya tinggal satu:
Walikota Bandung akan berdiri bersama rakyat dan demokrasi, atau membiarkan kekuasaan di luar sistem terus menentukan arah kota ini? (Red)***