Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

OPINI: Menakar Nasib Pasar Tradisional Bandung, Antara Nostalgia dan Modernisasi Radikal.

OPINI: Menakar Nasib Pasar Tradisional Bandung, Antara Nostalgia dan Modernisasi Radikal

​Oleh: R. Wempy Syamkarya, S.H., M.M.
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik

BANDUNG|MATA 30 NEWS — Pasar tradisional bukan sekadar tempat bertemunya penjual dan pembeli. Di Kota Bandung, ia adalah urat nadi ekonomi kerakyatan sekaligus saksi bisu pasang surut kebijakan para pemimpinnya. Namun, belakangan ini, wajah pasar tradisional kita seolah terombang-ambing di antara upaya digitalisasi yang ambisius dan hilangnya roh keberpihakan pada pedagang kecil.

​Rekam Jejak Kebijakan: Dari Kasih Sayang ke Kehancuran?

​Sejarah mencatat tiap Wali Kota Bandung memiliki "sidik jari" berbeda pada pasar. Di era Aa Tarmana, pasar dikelola dengan pendekatan yang sangat manusiawi—pedagang kaki lima diberi tenda dan dihargai eksistensinya. Estafet ini berlanjut ke tangan Dada Rosada yang masif melakukan pembangunan fisik, meski kemudian harus berakhir dengan catatan kelam kasus hukum.

​Namun, kritik tajam muncul saat meninjau era Ridwan Kamil. Di balik gemerlap konsep Smart City dan kota kreatif, ada luka yang dirasakan oleh sebagian pelaku pasar. Narasi "penghancuran" yang dilontarkan oleh para senior pengamat pasar seperti Iwan Suhermawan bukan tanpa alasan. Modernisasi yang terlalu cepat dan "top-down" seringkali justru mencerabut akar budaya pasar itu sendiri. Ketamakan dalam pembangunan yang mengabaikan aspek sosial ekonomi pedagang lama hanya akan berujung pada kegagalan fungsional bangunan pasar itu sendiri.

​Dilema Modernisasi: Modern tapi Tak Berpenghuni

​Kita sering melihat pola yang sama: Pasar tradisional dirombak menjadi gedung mewah, namun berakhir sepi. Mengapa? Karena jiwa pasar tradisional adalah interaksi dan keterjangkauan. Jika revitalisasi hanya berarti menaikkan harga sewa hingga mencekik pedagang kecil, maka itu bukan pembangunan, melainkan penggusuran terselubung.

​Tantangan Bagi Dirut Baru Perumda Pasar Juara

​Saat ini, proses open bidding untuk posisi Dirut Perumda Pasar Juara tengah berlangsung. Siapa pun yang terpilih nanti memikul beban sejarah yang berat. Ia harus mampu melakukan navigasi di antara dua kutub: tuntutan zaman (digitalisasi) dan pelestarian nilai tradisional.

​Ada lima pilar yang harus menjadi janji suci calon Dirut baru:

  1. Revitalisasi Tanpa Amputasi: Memperbaiki sanitasi dan infrastruktur tanpa merusak ciri khas interaksi sosial di pasar.
  2. Digitalisasi yang Membumi: Teknologi pembayaran digital dan promosi online harus menjadi alat bantu pedagang, bukan menjadi beban teknologi yang membingungkan.
  3. Proteksi UMKM Lokal: Pasar harus menjadi benteng terakhir bagi produk lokal di tengah gempuran barang impor.
  4. Pemberdayaan SDM: Memberikan edukasi manajemen kepada pedagang agar mereka naik kelas.
  5. Transparansi Tata Kelola: Membersihkan Perumda dari praktik suap dan korupsi yang selama ini menjadi parasit.

​Kesimpulan

​Penataan pasar tradisional di Kota Bandung harus berhenti menjadi proyek mercusuar yang hanya indah di mata kamera, namun kering di kantong pedagang. Belajar dari kegagalan masa lalu, pemimpin pasar masa depan haruslah sosok yang memiliki hati pada rakyat kecil, namun memiliki otak untuk inovasi.

​Pasar Beringharjo di Yogyakarta telah membuktikan bahwa modernitas bisa bersanding mesra dengan tradisi. Jika Yogyakarta bisa, Bandung seharusnya bisa lebih dari itu. Jangan sampai pasar tradisional kita hanya tinggal nama dalam buku sejarah, sementara fisiknya berubah menjadi gedung beton yang mati suri.

Posting Komentar

0 Komentar