![]() |
| Jebakan Utang dan Ortodoksi Belanja: Kinerja Fiskal Indonesia di Bawah Ancaman |
Jakarta|MATA 30 NEWS – Analisis mendalam terhadap kebijakan fiskal Indonesia dalam dua dekade terakhir menunjukkan adanya penurunan kinerja yang signifikan, ditandai dengan lonjakan utang pemerintah yang mengkhawatirkan dan dominasi belanja non-produktif di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Situasi ini secara ironis memuncak di tengah meningkatnya kebutuhan perlindungan sosial dan penyelamatan dunia usaha, serta beban hidup rakyat yang kian mencekik.
📉 Tren Fiskal yang Mengkhawatirkan
Lonjakan Belanja Birokrasi vs. Stagnasi Belanja Modal: Belanja birokrasi (pegawai dan barang) meningkat tajam dari rata-rata 3,68% dari PDB di era Presiden SBY (2005-2014) menjadi 4,60% dari PDB di era Presiden Jokowi (2015-2024), dan diproyeksikan 5,0% pada 2026. Sebaliknya, belanja modal yang produktif stagnan dan cenderung menurun, dari 1,49% dari PDB (era SBY) menjadi 1,41% (era Jokowi), dan direncanakan 1,26% (era Prabowo).
Penurunan Belanja Sosial: Belanja bantuan sosial (bansos) dan subsidi juga menunjukkan stagnasi atau penurunan relatif terhadap PDB. Rata-rata belanja bansos turun dari 1,05% dari PDB (era SBY) menjadi 0,75% (era Jokowi), dan direncanakan 0,65% (era Prabowo).
Dominasi Program Populis: Politik anggaran terbaru diperburuk oleh dominasi alokasi untuk program populis dan proyek mercusuar, seperti IKN dan program makan bergizi gratis (MBG), di atas alokasi untuk sektor strategis seperti pertanian, pendidikan, dan kesehatan.
💰 Jebakan Utang Makin Menyesakkan
Peningkatan Rasio Utang: Rasio utang pemerintah terhadap PDB melonjak dari 24,6% (2014) menjadi 39,8% (2024). Penambahan utang per bulan meningkat drastis: Rp 17 triliun (periode kedua SBY), Rp 36 triliun (periode pertama Jokowi), hingga Rp 63 triliun (periode kedua Jokowi).
Beban Utang Mengancam Keberlanjutan Fiskal: Rasio stok utang pemerintah terhadap penerimaan perpajakan mencapai 389% pada 2024, jauh di atas batas aman rekomendasi IMF (90-150%).
Rasio Bunga Utang di Atas Batas Aman: Beban bunga utang terhadap penerimaan perpajakan melambung tinggi, dari rata-rata 11,1% (periode kedua SBY) menjadi 21,6% (periode kedua Jokowi), jauh di atas batas aman rekomendasi IMF (7-10%).
Gali Lubang Tutup Lubang: Total beban cicilan pokok dan bunga utang terhadap penerimaan perpajakan mencapai 53,2% pada 2019-2024, dan diproyeksikan 54,9% pada 2025-2026. Hal ini mengkonfirmasi jebakan utang, di mana utang baru dibuat bukan lagi fungsi dari defisit anggaran, melainkan untuk membayar utang lama.
⚠️ Konsekuensi dan Perlunya Perubahan Ortodoksi
Rendahnya kinerja rezim fiskal ini semakin memperburuk fungsi redistribusi pendapatan, melemahkan tax ratio, dan membuat insiden fiskal makin regresif. Defisit keseimbangan primer yang berkepanjangan (negatif sejak 2012) menunjukkan pemerintah harus berutang hanya untuk membayar bunga utang lama, mengikis ruang fiskal untuk belanja produktif dan sosial.
Diperlukan perombakan mendasar dalam ortodoksi belanja publik agar defisit anggaran dan penarikan utang masif dapat benar-benar diarahkan sebagai counter-cycle policy yang mendorong sektor produktif dan kesejahteraan rakyat, bukan didominasi oleh belanja yang "terikat" dan non-produktif.***
Editor : Mulyana Rachman
Sumber : berbagai media
