OPINI
ANALISIS: Digital Tribalism dan Tantangan Integrasi Sosial
Oleh: Pimpinan Redaksi mata30news.com (Perspektif Sosiologi Hukum)
| Pimpinan RedaksiMefia online mata30news.com Mulyana Rachman S.E |
Kasus yang menjerat MAFPN alias Resbob bukan sekadar perkara hukum pidana biasa, melainkan cerminan dari fenomena Digital Tribalism yang kian menguat. Secara akademis, ujaran kebencian yang menyerang identitas etnis (Sunda) dan subkultur komunitas (Viking) menyentuh aspek paling sensitif dalam struktur sosial masyarakat Indonesia: Identitas Kolektif.
Provokasi dalam Ruang "Echo Chamber"
Media sosial sering kali menjadi ruang gema (echo chamber) di mana ujaran kebencian menyebar lebih cepat daripada klarifikasi. Dalam kacamata sosiologi, penghinaan terhadap kelompok bukan hanya melukai individu, melainkan merusak "kontrak sosial" tidak tertulis mengenai rasa saling menghormati antar-etnis.
Aspek Hukum sebagai Ultimum Remedium
Penerapan UU ITE Nomor 1 Tahun 2024 dalam kasus ini menunjukkan bahwa negara hadir menggunakan hukum sebagai ultimum remedium (upaya terakhir) ketika persuasi dan literasi digital dianggap gagal membendung potensi konflik fisik. Secara yuridis, ancaman denda hingga Rp10 miliar berfungsi sebagai deterrent effect (efek jera) agar pengguna ruang siber memahami bahwa anonimitas atau jarak digital tidak membebaskan mereka dari tanggung jawab hukum.
Urgensi Literasi Digital Kultural
Kasus ini menegaskan bahwa literasi digital di Indonesia tidak boleh berhenti pada kecakapan teknis mengoperasikan gawai, tetapi harus merambah pada Literasi Digital Kultural. Masyarakat perlu memahami bahwa di balik layar perangkat, ada sentimen kemanusiaan dan identitas budaya yang tetap harus dijaga demi integrasi nasional.
Menakar Batas Ekspresi di Tengah Kerentanan Digital Kita
Penangkapan MAFPN alias Resbob oleh Ditressiber Polda Jabar atas dugaan ujaran kebencian terhadap masyarakat Sunda dan komunitas Viking bukan sekadar catatan kriminal biasa. Peristiwa ini adalah alarm keras mengenai betapa rapuhnya kohesi sosial kita ketika berhadapan dengan algoritma media sosial yang cenderung mengeksploitasi emosi primitif manusia: amarah dan kebencian.
Identitas Kolektif dan Luka Digital
Secara sosiologis, serangan terhadap identitas etnis (Sunda) dan kelompok sosial (Viking) merupakan bentuk "kekerasan simbolik". Di ruang digital, kata-kata bukan lagi sekadar getaran udara, melainkan data yang menetap, dibagikan ribuan kali, dan mampu menggerakkan massa secara nyata. Ketika seseorang menghina kelompok tertentu demi sebuah konten live streaming, ia sedang bermain api dengan memori kolektif dan harga diri kelompok yang bersangkutan.
Kasus ini memperlihatkan fenomena toxic performativity. Demi mendapatkan atensi, engagement, atau sekadar popularitas sesaat, batas-batas etika sosial kerap ditabrak. Ironisnya, ruang digital yang seharusnya menjadi sarana dialektika justru berubah menjadi arena perundungan yang mengancam integrasi bangsa.
Hukum ITE sebagai Benteng, Bukan Pembungkam
Penerapan UU ITE Nomor 1 Tahun 2024 dalam kasus ini harus dipandang sebagai upaya negara untuk memulihkan ketertiban sosial (social order). Sanksi pidana 6 hingga 10 tahun serta denda yang mencapai miliaran rupiah bukan semata-mata hukuman bagi si pelaku, melainkan pesan simbolis kepada publik: bahwa kebebasan berpendapat tidak pernah bersifat absolut.
Kebebasan seseorang dibatasi oleh hak orang lain untuk tidak dihina dan hak kelompok masyarakat untuk merasa aman dari provokasi SARA. Hukum di sini bekerja sebagai instrumen preventif agar konflik digital tidak bermutasi menjadi konflik fisik di dunia nyata yang jauh lebih destruktif.
Membangun Etika Kewargaan Digital
Penegakan hukum memang perlu, namun ia bukan solusi tunggal. Akar masalahnya terletak pada literasi digital yang masih dangkal. Kita seringkali terampil secara teknis dalam menggunakan media sosial, namun gagap secara etis.
Sudah saatnya kurikulum literasi kita menyentuh aspek "Kewargaan Digital" (Digital Citizenship). Ini mencakup pemahaman bahwa di balik setiap akun, ada manusia dengan latar belakang budaya dan emosi yang nyata. Menghargai keberagaman Sunda atau loyalitas komunitas seperti Viking adalah bagian dari merawat keindonesiaan itu sendiri.
Kasus Resbob harus menjadi momentum refleksi kolektif. Jika kita terus membiarkan ujaran kebencian menjadi komoditas konten, maka kita sebenarnya sedang menggali lubang perpecahan bagi masa depan kita sendiri. Ruang digital harus dikembalikan fungsinya sebagai ruang silaturahmi intelektual, bukan tempat memelihara permusuhan.***

0 Komentar