Pemerintah: Pasal 8 UU Pers Jamin Perlindungan Hukum dan Tidak Multitafsir

 

Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Komdigi, Fifi Aleyda Yahya dalam sidang perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (6/10). Foto: tangkapan layar youtube

Jakarta, MATA 30 NEWS – Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan bahwa Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) secara jelas memberikan jaminan perlindungan hukum bagi wartawan dan tidak bersifat multitafsir. Penegasan ini disampaikan dalam sidang pengujian materiil UU Pers di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (6/10) untuk perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025.

Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Komdigi, Fifi Aleyda Yahya, yang mewakili Pemerintah, membantah dalil Pemohon, Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM), yang menyebut Pasal 8 UU Pers menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Penjelasan Pasal 8 UU Pers telah secara jelas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah jaminan dari pemerintah dan/atau masyarakat kepada wartawan dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Fifi di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.

Fifi menjelaskan bahwa frasa “perlindungan hukum” dalam pasal tersebut merupakan "open norm" atau norma terbuka yang harus ditafsirkan dalam konteks sistem hukum nasional yang berlaku, sehingga memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan kebutuhan lapangan. Menurutnya, UU Pers telah menjamin perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesinya, sehingga Pasal 8 UU Pers tidaklah multitafsir.

Perlindungan Hukum Bukan Kekebalan Hukum

Pemerintah juga menolak perbandingan perlindungan hukum wartawan dengan profesi advokat atau jaksa. Menurut Fifi, profesi wartawan memiliki karakter berbeda, yakni terbuka, independen, dan merupakan bagian dari kemerdekaan pers.

“Perlindungan hukum bagi wartawan tidak dapat disamakan dengan imunitas profesi lain, karena perlindungan hukum bukan berarti kekebalan hukum,” tegasnya.

Selain itu, Fifi menambahkan bahwa jaminan perlindungan bagi wartawan diperkuat oleh berbagai instrumen hukum lain, termasuk Peraturan dan Pedoman Dewan Pers, serta keputusan bersama Dewan Pers dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komnas Perempuan.

Lebih lanjut, Pemerintah berpandangan bahwa semangat utama UU Pers adalah menjamin kemerdekaan pers, sehingga pelaksanaan ketentuan diatur melalui peraturan yang dibentuk secara independen oleh organisasi pers dengan fasilitasi Dewan Pers.

Dengan demikian, Pemerintah menyimpulkan bahwa Pasal 8 UU Pers tidak bersifat multitafsir karena telah terdapat pranata hukum yang memadai untuk menjamin hak wartawan atas kepastian hukum, perlindungan diri, kehormatan, dan martabat dalam menjalankan profesinya.

Pemerintah menegaskan bahwa Pasal 8 UU Pers tidak bersifat multitafsir dan telah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi wartawan.

Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Komdigi, Fifi Aleyda Yahya, menegaskan kembali  bahwa frasa "perlindungan hukum" dalam pasal tersebut harus ditafsirkan dalam konteks sistem hukum nasional yang berlaku.

Poin Penting:

  • Pasal 8 UU Pers: Menjamin perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya.
  • Sifat Norma : Norma dalam Pasal 8 bersifat open norm atau norma terbuka, memberikan fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan kebutuhan lapangan.
  • Sumber Perlindungan : Perlindungan hukum bagi wartawan tidak hanya bersumber dari UU Pers, tetapi juga diperkuat melalui instrumen hukum lainnya, seperti Peraturan dan Pedoman Dewan Pers.

Perbandingan dengan Profesi Lain:

  1. Pemerintah menilai perbandingan perlindungan hukum wartawan dengan profesi lain seperti advokat atau jaksa tidak tepat.
  2. Profesi wartawan memiliki karakter berbeda, yaitu terbuka, independen, dan merupakan bagian dari kebebasan pers.

Kasus Kriminalisasi Wartawan:

  • Pemerintah telah mempertimbangkan potensi kriminalisasi wartawan melalui penggunaan pasal karet.
  • Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah mempertahankan frasa "tanpa hak" dalam KUHP untuk melindungi kepentingan hukum yang sah.(**)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama