Opini: Bandung Terjebak Paradoks Pariwisata – Indah di Branding, Macet di Kenyataan
Oleh: Mulyana Rachman Pimpinan Redaksi Mata30news.com
Bandung, Opini Kritik ,9 November 2025
Pernyataan Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, bahwa Kota Bandung "hidup dari pariwisata" dan menjadi pusat industrialisasi ekonomi kreatif adalah pengakuan yang valid. Apresiasi terhadap pelaku industri pariwisata melalui Malam Anugerah Pesona Pariwisata juga menunjukkan komitmen Pemkot. Namun, komitmen ini menjadi hampa ketika dihadapkan pada paradoks nyata di lapangan: bagaimana mungkin sebuah kota mempertahankan branding “Stunning Bandung” ketika pengalaman nyata wisatawan sering kali jauh dari kata memukau?
Kesenjangan ini timbul karena Pemkot tampaknya terlalu fokus pada aspek agregasi pelaku usaha (hotel, kafe, branding) tanpa terlebih dahulu menuntaskan masalah infrastruktur dan tata kelola kota yang fundamental.
Beban Berat di Jalanan Utama
Bandung menarik puluhan ribu wisatawan setiap akhir pekan. Keberadaan hotel, kafe, dan pusat perbelanjaan baru terus meningkat, persis seperti yang diinginkan dalam industrialisasi sektor kreatif. Akan tetapi, daya dukung jalanan kota, terutama di koridor utama seperti Dr. Djunjunan (Pasteur) hingga Dago dan Asia Afrika, sudah lama melebihi batas toleransi.
Wisatawan yang datang untuk menikmati "stunning" akan disuguhi realitas kemacetan yang melelahkan. Waktu yang seharusnya digunakan untuk menikmati sajian kreatif habis terbuang di tengah gas buang kendaraan.
Implikasi Ekonomi Ganda: Kemacetan tidak hanya mengurangi experience wisatawan (yang berujung pada penilaian negatif dan keengganan untuk kembali), tetapi juga meningkatkan biaya operasional bagi pelaku industri pariwisata itu sendiri.
Prioritas yang Salah: Strategi yang baik seharusnya memastikan bahwa pariwisata adalah hasil dari kota yang layak huni dan berfungsi baik, bukan tujuan utama yang mengorbankan kualitas hidup warga dan kenyamanan pengunjung.
Pariwisata Tanpa Solusi Transportasi
Ketika Wali Kota Farhan menekankan pentingnya branding lama, ia gagal menyentuh inti permasalahan: kurangnya solusi transportasi publik yang terintegrasi yang mampu menyerap lonjakan pengunjung.
Di banyak kota wisata maju di dunia, fokus utama adalah memindahkan wisatawan dari kendaraan pribadi ke moda transportasi massal yang efisien dan nyaman. Di Bandung, sebaliknya, pariwisata masih sangat didominasi oleh kendaraan pribadi (terutama plat B dari Jakarta dan sekitarnya), memperparah kemacetan lokal.
Solusi yang Terabaikan:
- Parkir Park-and-Ride Terintegrasi: Mengapa Pemkot belum secara agresif mewajibkan skema park-and-ride di gerbang tol atau batas kota, dengan shuttle bus wisata yang efisien masuk ke pusat kota?
- Wisata Berbasis Trekking atau Sepeda: Memanfaatkan image ramah lingkungan dengan membangun infrastruktur wisata yang mendukung pejalan kaki dan pesepeda, bukan hanya jalan raya yang lebar.
Saatnya Branding Berbasis Keberlanjutan, Bukan Sekadar Estetika
Bandung tidak bisa terus-menerus menjual estetika kreatif tanpa memasukkan unsur keberlanjutan dan efisiensi kota dalam branding pariwisatanya. Jika Pemkot kukuh mempertahankan SK Menteri Pariwisata 2016, maka makna "Stunning" harus diinterpretasikan ulang.
"Stunning Bandung" harus berarti: Kota yang mengagumkan karena tata kelolanya yang cerdas, transportasinya yang lancar, kebersihannya, dan keramahannya terhadap lingkungan,bukan hanya karena kafe-kafe barunya.
Pemberian penghargaan kepada pelaku usaha perlu diimbangi dengan penerapan sanksi atau disinsentif bagi usaha pariwisata yang tidak pro-solusi (misalnya, yang tidak menyediakan lahan parkir memadai dan meluber ke jalan).
Jika Wali Kota Farhan ingin Bandung tetap menjadi "destinasi wisata utama", beliau harus memimpin dengan visi yang lebih holistik: Pariwisata harus menjadi bonus dari kota yang sudah tertata rapi, bukan beban yang memperburuk keadaan kota.***