OPINI PAGI
Antara Target Cepat dan Solusi Berkelanjutan Penanganan Sampah Kota Bandung
Kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung di bawah kepemimpinan Wali Kota Muhammad Farhan yang bertekad mempercepat penanganan penumpukan sampah patut diapresiasi dari sisi urgensi dan kecepatan respons. Namun, tinjauan kritis perlu difokuskan pada dua aspek utama: Realitas Target Jangka Pendek dan Efektivitas Strategi Jangka Panjang.
Realitas Target "Dua Hari" dan Dorongan Emosional
Wali Kota Farhan menunjukkan perhatian dan empati yang tinggi terhadap warga ("Karunya warga") dengan menargetkan penumpukan sampah di TPS Sederhana tuntas dalam waktu sangat cepat, yakni dua hari, bahkan disambut tepuk tangan.
- Potensi Pressure Berlebihan:
- Target yang sangat ambisius (dua hari) dan diserukan di depan publik ("Warga saksi ya.") dapat menciptakan tekanan kerja yang luar biasa pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan petugas operasional lapangan. Meskipun memacu semangat, target yang terlalu ketat, terutama di tengah kendala teknis (seperti cuaca dan jalur TPA), berisiko mengorbankan kualitas kerja atau menimbulkan kelelahan, bahkan jika tercapai.
- Solusi Bukan Sekadar Kecepatan: Penanganan sampah bukanlah perlombaan kecepatan, melainkan masalah logistik dan infrastruktur yang kompleks. Dorongan emosional yang kuat perlu diimbangi dengan perencanaan yang matang, bukan sekadar penentuan target waktu yang dramatis. Fokus seharusnya adalah pada kelancaran operasional berkelanjutan, bukan hanya pada penyelesaian tumpukan di satu titik.
Strategi Teknis: Efisiensi vs. Kendala Alam
Strategi Pemkot Bandung untuk menata ulang sistem antrean truk di TPA dengan memecah jalur dan meningkatkan kapasitas dari 40 menjadi 70 truk per hari adalah langkah teknis yang cerdas dan relevan untuk mengatasi masalah logistik jangka pendek.
Peningkatan ritase harian dari 40 ke 70 truk, meskipun signifikan, tetap rentan terhadap kendala cuaca. Pengakuan Wali Kota bahwa jalur masuk TPA terbatas karena risiko longsor akibat hujan menunjukkan bahwa solusi bottleneck antrean hanya bersifat parsial. Selama Pemkot bergantung pada jalur TPA yang mudah terdampak cuaca, masalah penumpukan akan terus berulang saat musim hujan tiba.
Ketergantungan pada Jalur Kecil: Pemanfaatan jalur-jalur kecil yang "aman" karena jalur utama terhambat menunjukkan bahwa belum ada solusi infrastruktur TPA yang kokoh dan berkelanjutan (misalnya, perkerasan jalur utama yang tahan cuaca) untuk menjamin mobilitas 70 truk tersebut secara konsisten, terlepas dari kondisi hujan.
Solusi Jangka Panjang:
Mengubah Budaya, Bukan Hanya Angka
Rencana jangka panjang untuk meluncurkan kebijakan penguatan pemilahan sampah di tingkat warga dengan target meningkatkan kawasan bebas sampah dari 400 menjadi minimal 800 kawasan adalah arah yang benar dan krusial.
Fokus Perluasan Outreach: Target "satu RW satu petugas pemilah" di 1.600 RW merupakan langkah konkret. Namun, keberhasilan tidak hanya diukur dari penambahan jumlah kawasan bebas sampah. Opini publik dan kritik selalu menyoroti bahwa masalah sampah di hulu (pemilahan) memerlukan edukasi masif, penegakan aturan, dan insentif yang jelas bagi warga, bukan sekadar penetapan petugas.
Prioritas dan Keberlanjutan: Meskipun target menyelesaikan tumpukan lama pada 23 November 2025 merupakan prioritas yang baik, implementasi program pemilahan di hulu harus berjalan paralel dan berkelanjutan. Jika pemilahan tidak berjalan efektif, maka tumpukan baru akan terus menumpuk lebih cepat daripada upaya Pemkot mengangkutnya, mengulangi siklus krisis yang sama.
Kebijakan Pemkot Bandung menunjukkan kepemimpinan yang responsif dan berani mengambil langkah teknis cepat untuk mengatasi krisis tumpukan sampah.
Namun, keberlanjutan solusi ini akan diuji oleh kekokohan infrastruktur TPA (yang rentan cuaca) dan efektivitas implementasi program pemilahan di tingkat hulu.
Tanpa solusi TPA yang tangguh dan perubahan budaya masyarakat yang masif melalui insentif dan penegakan, upaya percepatan yang dilakukan saat ini hanya akan menjadi langkah firefighting yang berulang.
Penelusuran kritis mengenai sampah Kota Bandung menjadi semakin tajam dengan adanya data spesifik dari mata30news: 40% sampah berasal dari rumah tangga, sementara 60% didominasi oleh sampah dari pasar, baik legal maupun ilegal (pasar tumpah).
Data 60% ini merupakan kunci yang selama ini terabaikan oleh fokus kebijakan yang cenderung berpusat pada penanganan sampah rumah tangga.
Opini mata30news menyoroti titik kritis yang belum tersentuh secara efektif oleh kebijakan percepatan Pemkot Bandung:
Kegagalan Mengelola Sampah Pasar (60%)
Fokus Wali Kota Farhan pada perbaikan antrean TPA dan target zero waste di RW (sebagai solusi hulu rumah tangga) menjadi kurang relevan dan parsial ketika mayoritas masalah (60%) berasal dari entitas pasar.
SOROTAN TAJAM SEBAGAI USULAN :
Sumber Masalah yang Terabaikan: Jika 60% sampah berasal dari pasar (yang sebagian besar adalah sampah organik/sisa makanan), maka solusi pemilahan di tingkat rumah tangga (program satu RW satu pemilah) hanya menargetkan 40% dari total masalah. Solusi bagi 60% sisanya harus berupa program komposting terpusat skala besar di sekitar area pasar atau TPA, bukan hanya mengandalkan angkutan truk.
Penanganan Pasar Ilegal (Pasar Tumpah): Laporan bahwa sampah selalu menumpuk di sekitar pasar tumpah menunjukkan adanya kelemahan dalam penegakan hukum dan penataan wilayah. Pasar ilegal tidak hanya menciptakan tumpukan sampah, tetapi juga melanggar tata ruang dan memperburuk sanitasi. Pemkot harus:
Menyediakan fasilitas TPS organik khusus di sekitar pasar legal.
- Menindak tegas dan merelokasi pasar tumpah yang menjadi sumber penumpukan sampah liar.
- Mewajibkan pedagang pasar untuk memilah sampah organik mereka di tempat, didukung dengan sanksi tegas.
Solusi jangka panjang Pemkot saat ini fokus pada penguatan pemilahan RW (untuk sampah rumah tangga). Namun, dengan data 60% sampah pasar, solusi harus bergeser ke pengelolaan sampah organik skala industri.
Usulan mendesak mata30news:
Pembangunan Fasilitas Pengolahan Organik:
Daripada hanya menambah kapasitas truk, Pemkot harus segera mengalokasikan dana untuk pembangunan instalasi pengolah sampah organik (komposting/biodigester) yang dapat menyerap minimal 50% dari volume sampah pasar harian. Ini akan mengurangi beban kiriman ke TPA secara permanen.
Kolaborasi PD Pasar: Kebijakan harus secara eksplisit mengikat PD Pasar sebagai penanggung jawab utama pengelolaan sampah organik di lingkungan pasar, bukan hanya DLH.***
